Meterai memang bukan barang langka. Bahkan, saking seringnya kita mendengar, membeli, dan menggunakan meterai, kita jadi menganggap meterai adalah tanda bahwa sesuatu yang kita lakukan itu sah. Hingga ada juga yang menganggap, tanpa adanya meterai, berarti sebuah perjanjian itu bisa batal.
Emangnya gitu ya? Nah, hukumonline.com coba meluruskan beberapa hal nih soal meterai. Cekidot.
1. Perjanjian Kerja Tanpa Meterai?
Keabsahan suatu perjanjian tidak ditentukan oleh ada tidaknya meterai. Meterai hanya dipergunakan sebagai bukti bahwa Anda telah membayar pajak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Bea Meterai
“Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini”
Namun demikian, pemeteraian surat perjanjian adalah penting agar surat perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata (lihat Pasal 2 ayat [1] huruf a UU Bea Meterai).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ketiadaan meterai dalam suatu surat perjanjian (termasuk Perjanjian Kerja) tidak berarti perbuatan hukumnya (Perjanjian Kerja) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian.
2. Perpanjangan Perjanjian Perlu Meterai?
Selain soal apakah perjanjian kudu pake materai ato gak, agan2 mungkin juga pernah ada yang bertanya2 apakah perpanjangan sebuah perjanjian perlu dikasih materai juga ato gak? Ato mungkin ada juga yang berpandangan bahwa sepanjangan perjanjiannya udah pake materai, maka perpanjangan kontraknya gak perlu lagi pake materai.
Jadi, perlu kah materai untuk sebuah perpanjangan kontrak itu?
Seperti dijelasin di bagian atas gan, materai gak berfungsi utk menyatakan suatu dokumen sah dan mengikat secara hukum ato gak. Pemberian meterai jd penting dan wajib bila perjanjian tsb bakal dijadiin sbg alat pembuktian di pengadilan.
Tapi tenang aja gan. Klo pun dah terlanjur gak pake meterai, agan ttp bisa jadiin dokumen itu sbg bukti di pengadilan stelah melakukan ‘Pemeteraian Kemudian’ kok.
3. Berapa Besar Nominal Meterai Untuk Jual Beli Tanah?
Di Klinik Hukumonline pernah ada yang nanya, Gan, apakah meterai Rp 3000,- boleh digunakan pada akte jual beli sawah? Sebenarnya ada gak sih aturan yang menentukan besarnya nominal meterai dalam akta jual beli tanah itu?
Meterai atau bea meterai diatur dalam UU Bea Meterai dan Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai Dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai (“PP 24/2000”). Bea meterai itu dikenakan salah satunya atas dokumen seperti akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Dengan asumsi bahwa akta jual beli sawah tersebut akan digunakan untuk mendaftarkan pengalihan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, maka besarnya bea meterai dari akta PPAT jual beli sawah tersebut dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) PP 24/2000, yaitu sebesar Rp. 6000,- (enam ribu Rupiah).
4. Apakah Nota Kesepahaman (MOU) Perlu Meterai?
MoU tidak mengikat para pihak layaknya perjanjian. MoU justru dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan. Akan tetapi, perlu atau tidaknya suatu dokumen menggunakan meterai bukan terletak pada kekuatan dokumen tersebut mengikat atau tidak. Tetapi bergantung pada apakah dokumen tersebut akan digunakan sebagai alat bukti di persidangan atau tidak.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf a UU Bea Meterai, surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata merupakan salah satu dokumen yang dikenakan bea meterai.
Jadi pada dasarnya ketentuan mengenai meterai tidak mensyaratkan bahwa suatu dokumen harus mempunyai kekuatan hukum mengikat baru memerlukan meterai, tetapi suatu dokumen perlu dibubuhi meterai jika akan digunakan sebagai alat bukti.
5. Jadi Apa Sebenarnya Fungsi Meterai?
Jadi, sebenarnya fungsi meterai itu apa ya? Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Bea Meterai, fungsi atau hakikat utama Bea Meterai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen-dokumen tertentu.
Surat pernyataan atau perjanjian yang tidak dibubuhkan meterai tidak membuat pernyataan atau perjanjian tersebut menjadi tidak sah. Akan tetapi, jika Anda memang bermaksud untuk menjadikan surat pernyataan atau perjanjian tersebut sebagai alat bukti di pengadilan, maka harus dilunasi Bea Meterai yang terutang.
Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa surat pernyataan tetap sah walaupun tidak dibubuhi meterai. Akan tetapi, karena surat tersebut akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, maka dikenakan Bea Meterai sebagai pajak dokumen.
Surat pernyataan yang belum dibubuhi meterai tetapi ingin diajukan sebagai alat bukti di pengadilan, maka pelunasan Bea Meterai dilakukan dengan Pemeteraian Kemudian.
Menurut Pasal 1 huruf a Kepmenkeu No. 476/KMK.03/2002 Tahun 2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dgn Cara Pemeteraian Kemudian (“Kepmenkeu 476/2002”), pemeteraian kemudian dilakukan atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.
Pemeteraian kemudian juga dilakukan atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia (Pasal 1 huruf c Kepmenkeu 476/2002).
Pemeteraian kemudian wajib dilakukan oleh pemegang dokumen dengan menggunakan Meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak dan kemudian disahkan oleh Pejabat Pos (Pasal 2 ayat [1] dan [2] Kepmenkeu 476/2002).
Besarnya Bea Meterai yang harus dilunasi adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan (Pasal 3 huruf a Kepmenkeu 476/2002).
Jadi gan, kekuatan pembuktian surat pernyataan yang tidak dibubuhi Meterai tetapi akan dijadikan alat bukti di pengadilan, memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan surat pernyataan yang telah bermeterai. Namun, untuk dapat dijadikan alat bukti, harus memenuhi syarat administratif yaitu melunasi Bea Meterai yang terutang.
Sumber :
http://www.kaskus.co.id/thread/53958bf1a807e7e2548b46eb/meluruskan-salah-kaprah-soal-meterai/?ref=homelanding&med=quick_update
Post a Comment